Rabu, 11 Maret 2015

Budaya Malu Korupsi

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda :
اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ
“Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di Neraka.”  Shahîh: HR.Ahmad (II/501). 

Malu sebagian dari Iman     (asalasah.blogspot.com)
(Mediaislamia.com) --- Malu itu sebagian dari iman, demikian sabda Nabi Muhammad SAW. Ucapan Rasulullah secara teologis mengisyaratkan setiap perbuatan hendaknya dilandasi rasa malu. Sifat baik tersebut hakikatnya menunjukkan kualitas iman seseorang.

Memang, manusia itu mahkluk bermoral ambigu, satu sisi menyenangi kebaikan dan di sisi lainnya kerap melanggar nilai dan norma. Kita membenci korupsi, tapi kita juga memberi ruang proses-proses berlangsungnya perbuatan tunaadab itu. 

Kita mengutuk suap, kolusi, dan nepotisme, tapi dalam kesempatan tertentu kita juga menjadi pelakunya. Rasa malu dalam situasi seperti ini menjadi barang langka dan berlaku seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Padahal, jika rasa malu itu dipancarkan dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara, niscaya akan berlimpah kemaslahatan. Rasulullah Muhammad SAW mengatakan, “Malu itu tidak datang, kecuali dengan membawa kebaikan.”

Internalisasi perilaku malu berbuat korupsi dan melawan hukum dapat diwujudkan dari keteladanan para pemimpin. Bila pemimpin itu mewariskan kebajikan dan taat pada hukum, niscaya masyarakat juga akan meneladaninya.

Kedua, budaya malu dapat disosialisasikan di ranah keluarga. Peran orang tua sangat menentukan kualitas karakter dan martabat kepribadian anak-anaknya. 

Berbuat kebajikan untuk peduli kepada sesama dan larangan mengambil yang bukan haknya termasuk tindakan bermoral yang patut dibudayakan di lingkungan keluarga. Keluarga merupakan benteng utama menanam benih moral bagi pembentukan nilai-nilai kepribadian.

Ketiga, melestarikan budaya malu hendaknya diimplementasikan di lembaga pendidikan sekolah. Menurut Emile Durkheim, sekolah mempunyai tugas dan fungsi untuk menanamkan nilai-nilai yang bermanfaat guna mempertahankan sistem sosial. Sebagai salah satu agen sosialisasi, sekolah memiliki peran sentral, yaitu mengubah dan memproduksi berbagai sistem nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Kebudayaan yang diproduksi bisa berupa ilmu pengetahuan, kecakapan, nilai, dan sikap.

Keempat, penegakan hukum merupakan salah satu instrumen penting mewujudkan budaya malu di kehidupan masyarakat. Kerja kolektif dan sinergi antarlembaga sosial: politik, hukum, dan aparat kepolisian dalam memberantas korupsi serta-merta tak lepas dari pengawalan publik. 

Ilustrasi Korupsi       (balipost.som)
Baik dan buruknya kualitas budaya malu tergantung pada tajam atau tumpulnya payung hukum itu ditegakkan. Bila payung hukum tempat berteduh pencari keadilan tersebut loyo dan rapuh, tak kalah berhadapan dengan uang dan kekuasaan, jangan harap rasa malu kepribadian bangsa ini bisa dirawat.

Terakhir, fungsi media massa sejatinya menjadi penompang nilai-nilai budaya bangsa.  Melalui media diupayakan kerja kreatif berupa kampanye menggalakkan antikorupsi bisa diimplikasikan secara permanen. Sayangnya, iklan-iklan komersial tak mendidik, seperti iklan rokok yang nyaris membunuh jutaan orang, lebih sering menyergap ruang publik.
Sebaliknya, iklan antikorupsi kering dan garing. Pertanyaannya, beranikah media massa kita mengampanyekan antikorupsi serupa dengan iklan rokok sehingga gaungnya berbunyi, “Peringatan: Koruptor Membunuhmu.”

Sebuah pesan moral dari Rasulullah Muhammad SAW, “Sesungguhnya sebagian ajaran yang masih dikenal umat manusia dari perkataan para nabi terdahulu adalah bila kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (HR Bukhari).

Sayang sekali, bangsa kita gagal menyelami adab malu. Bangsa kita lebih suka berbuat apa saja tanpa rasa malu dan berakhir sebagai bangsa yang memalukan. Na’udzubillah. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar