“Jika engkau ditanggung dan diajak untuk menikahi seorang wanita yang cantik, berharta, mulia, dan sebanding, maukah engkau memenuhinya?” tanya Nufaisah.
“Siapa dia?” tanya Beliau.
“Khadijah!” tukas Nufaisah.
“Bagaimana mungkin??!!” kata Beliau.
“Saya yang menjamin.” Jelas Nufaisah.
“Kalau begitu saya terima.” Jawab beliau.
Demikian dialog Muhammad SAW dengan seorang sahabat Siti Khadijah, Nufaisah binti Munayah yang tertulis dalam buku Wanita-Wanita Mulia yang Dijamin Masuk Syurga karangan Syaikh Ahmad Khalil Juma’ah.
Kala itu, para tokoh dan pemimpin kota Mekah sangat berhasrat untuk menikahi Khadijah, namun ia menolak pinangan mereka. Ia justru mendapatkan apa yang selama ini ia inginkan dan cita-citakan dalam diri Muhammad. Setelah ia menceritakan isi hatinya kepada Nufaisah, lalu Nufaisah pun segera bergegas menemui Muhammad dan berbicara kepada Beliau agar menikahi Khadijah.
Nufaisah kembali menemui Khadijah dengan membawa berita keberhasilan dalam menunaikan tugasnya. Khadijah menyambut kesediaan Muhammad untuk menikah. Khadijah pun segera mengutus seorang pembantunya untuk menemui pamanya Amru bin Asad untuk hadir menjadi wali nikahnya. Setelah itu Muhammad SAW bersama keluarga besar Abdul Muthalib datang ke rumah Khadijah. Rombongan ini dipimpin paman nabi SAW, Hamzah dan Abu Thalib. Mereka disambut oleh paman Khadijah dan juga sepupunya yaitu Waraqah bin Nufail. Abu Thalib berdiri dan menyampaikan khutbah yang indah yang beberapa kalimatnya adalah sebagai berikut.
“Segala puji bagi Alloh yang telah menjadikan kita dari keturunan Ibrahim dan benih Ismail, menjadikan kita para pemelihara rumahnya dan pengurus Al Haram, menjadikan kita sebuah rumah yang terlindungi yaitu Al Haram yang penuh rasa aman. Sesungguhnhya keponakan saya ini, Muhammad bin Abdullah, tidaklah kemuliaan, kecerdikan, dan keutamaanya dibandingkan lelaki Quraisy mana pun kecuali ia lebih unggul. Muhammad sudah kalian ketahui kekerabatanya. Ia mempunyai keinginan untuk menikahi Khadijah binti Khuwailid dan Khadijah pun memiliki keinginan yang sama. Ada pun mahar yang kalian inginkan menjadi tanggungan saya.”
Paman Khadijah, Amru bin Asad, yang saat itu sudah memasuki usia senja menerima lamaran Abu Thalib dan mengatakan: “Muhammad adalah lelaki mulia yang tak mungkin ditolak.”
Muhammad menikah dengan Khadijah dan memberikanya mahar 20 anak lembu. Beliau SAW mengadakan pesta pernikahan dengan menyembelih unta dan memberi makan para tamu.
Al Bushairi telah menggubah sebuah syair tentang hal ini:
Khadijah melihat ketakwaan, kezuhudan,
dan rasa malu adalah perangai Muhammad
Telah sampai berita kepadanya bahwa awan
dan pohon besar menaunginya.
Berita bahwa akan ada seorang utusan Allah
Akan dibangkitkan, telah tiba masanya.
Ia pun tergugah untuk menikah denganya.
Alangkah bagusnya kala orang cerdik menggapai citanya.
Saat itu usia Siti Khadijah adalah 40 tahun, usia kesempurnaan seorang ibu, sedangkan Muhammad SAW adalah seorang pemuda berusia 25 tahun.
Dalam pernikahanya yang diberkahi ini, Khadijah adalah seorang istri yang penyayang dan seorang ibu yang lembut.
Aldric El Zafran*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar