Jumat, 22 Mei 2015

Hassan, remaja pengungsi Rohingya yang menjadi penerjemah di Aceh



Muhammad Dul Hassan, warga Rohingya yang diselamatkan dari kapal di Kuala langsa sekarang menjalani perannya sebagai penerjemah antara para dokter serta relawan dengan para pengungsi Rohingya.
Petugas kesehatan dan relawan menghadapi kendala bahasa dalam menangani para pasien pengungsi Rohingya di Aceh. Kehadiran Hassan yang merupakan satu-satunya orang yang fasih berbahasa Inggris sangat membantu para petugas medis dan relawan dalam berkomunikasi dengan orang Rohingya.
Hassan kini menjadi penghuni tetap salah satu bangsal di Rumah Sakit Kuala Langsa. Peran Hassan sangat penting, sehingga dia kini mendapatkan tempat tidur khusus di rumah sakit tersebut.
“Setiap hari Hassan membantu di sini, hanya dia yang bisa berbahasa Inggris,” ujar Yahrini, kepala perawat di RS Kuala Langsa pada CNN Indonesia, Kamis (21/5).
Hassan yang masih berusia 17 tahun bertugas mendampingi dokter yang mengunjungi pasien dan menerjemahkan keluhan para pasien. Kebanyakan pasien menderita penyakit pencernaan atau luka pada tubuh. Peran sebagai penerjemah ini dijalaninya sejak mendarat di Aceh pada Jum’at pekan lalu.
“Saya tidur di sini setiap malam dan membantu dokter menjelaskan keluhan pasien,” ungkap Hassan.
Saat ini ada 57 pengungsi Rohingya dan Bangladesh yang tengah dirawat karena berbagai penyakit. Salah satunya adalah remaja wanita berusia 15 tahun yang tengah hamil tujuh bulan, ungkap Juru bicara RS Kuala Langsa, Arwinsyah.
“Dia mengatakan suaminya dibunuh,” kata Arwinsyah. Tidak diketahui apakah suaminya dibunuh di Myanmar atau di atas kapal.
Kemarin, balita Rohingya yang masih berusia tiga tahun bernama Shahera Habibi meninggal dunia akibat tetanus.
“Saat baru tiba di RS pekan lalu kondisi Shahera sudah parah, kejang-kejang dan kaku. Dia dimakamkan di pemakaman rumah sakit,” jelas Arwinsyah.
Selain berperan sebagai penerjemah di rumah sakit, Hassan juga sering mendampingi relawan atau wartawan. Tanpa Hassan, para relawan hanya berkomunikasi dengan bahasa isyarat karena hampir sebagian besar pengungsi tidak bisa bahasa Inggris atau Melayu.
Sebagai bentuk terimakasih kepada Hassan yang sudah sangat membantu tersebut, Hassan mendapatkan sejumlah uang dari dokter dan para relawan. Uang ini digunakannya untuk membeli ponsel. Setiap hari, dia menggunakan ponsel itu untuk menelepon ibunya yang saat ini masih berada di kamp pengungsi Nayapara Bangladesh.
“Saat pertama kali menelepon ibu, dia mengira saya sudah tewas, karena sudah tiga bulan tidak memberi kabar,” ujar Hassan.
Hassan menumpang sebuah kapal pengungsi setelah dijanjikan akan bekerja di Malaysia. Selama tiga bulan di lautan, dia menyaksikan pembunuhan dan pertengkaran di antara para pengungsi di kapal karena berebut makanan.
“Warga Bangladesh di kapal membunuhi kami karena mengira kami tidak memberi mereka air dan makanan. Karena kelaparan, mereka menjadi gila,” kata Hassan.
Menurut penuturan Hassan, saat ini ayahnya bekerja di sebuah rumah sakit di Arab Saudi. Saat ditanya apakah ia menginginkan tinggal di Indonesia, siswa kelas 9 ini mengatakan bahwa ia akan mengikuti keputusan pemerintah Indonesia.
“Jika saya diminta untuk tinggal maka saya akan tinggal, jika tidak maka saya akan menurut,” ungkapnya.
smbr:arrahmah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar