Selasa, 26 Mei 2015

Indonesia, UUD 1945 Dan pengungsi Rohingya

Oleh: Muhamad Salman Ramdhani (DF KoordinatorPusat Brigade PII)

Termaktub dengan jelas paragraf pertama pada Pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia, yaitu“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Kalimat ini mengandung semangat solidaritas yang tinggi, menggambarkan suatu cita-cita luhur akan tatanan yang seharusnya ada dan dirasakan oleh seluruh manusia di dunia. Maka dalam paragraf terakhir Indonesia menegaskan “....ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…..”.

Kemudian dengan heroiknya Indonesia berpartisipasi menjadi mediator dalam penyelesaian berbagai konflik yang terjadi di dunia internasional seperti Misi Garuda, Konflik Kamboja, sengketa bangsa Moro dan Filipina, Vietnam, Thailand dan sebagainya.

Tapi hari ini peran itu belum dirasakan oleh ribuan orang dari Arakan, Myanmar. Mereka adalah korban dari rezim Junta Militer yang telah mencederai ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kasus pemerkosaan antar etnis dan agama yang menjadi “kambing hitam” dari konflik yang terjadi disana hingga memaksa etnis Rohingya untuk melarikan diri dari Myanmar.

Kabar lain mengatakan pemerintah yang berkuasa tidak mengakui status kewarganegaraan mereka (stateless). Label Imigran gelap dari Bangladesh menjadi landasan bagi gerakan intimidasi dan pengusiran yang dilakukan pemerintah. Padahal berabad yang lalu, Arakan memiliki sejarah pemerintahan Islam sebelum dikalahkan oleh Inggris dan Myanmar. Isu lain mengatakan bahwa motif perebutan dan penguasaan migas oleh korporasi multinasional yang menjadi latar belakang dimunculkannya konflik horizontal tersebut.

Terlepas dari berbagai motif yang melatarbelakanginya, permasalahan ini sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya tetapi minim aksi kongkrit. United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) sebagai lembaga di bawah naungan PBB yang menangani pengungsi, pencari suaka dan orang-orang tanpa kewarganegaraan-pun belum terlihat usaha maksimalnya. Hal ini juga berkaitan dengan minimnya partisipasi negara-negara untuk menandatangani Konvensi Pengungsi tahun 1951 dan hanya satu negara telah menandatangani Statelessness Convention tahun 1954. 

Dalam hal pengungsi Rohingya kali ini, Indonesia seharusnya ikut meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, karena konvensi tersebut memberikan perlindungan bagi pencari suaka dan pengungsi. Meratifikasi konvensi juga diperlukan agar Indonesia memiliki regulasi khusus terkait pengungsi. Sehingga Indonesia dapat berperan aktif terhadap pengungsi Rohingya tentunya dengan prinsip non-refoulment yaitu prinsip yang melarang mengembalikan pengungsi ke Negara asalnya apabila terdapat ancaman yang membahayakan jiwanya.

Meskipun UNHCR merupakan lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengungsian, jiwa solidaritas masyarakat Indonesia terutama Aceh nyatanya telah mendarah daging, dibuktikan dengan menjamurnya posko bantuan di lokasi pengungsian. Belum lagi gerakan-gerakan relawan di berbagai daerah yang hari ini sedang melakukan gerakan untuk ikut berpartisipasi meringankan beban para pengungsi.

Maka hari ini yang belum terbukti jiwa solidaritasnya adalah pemerintah pusat Indonesia. Apakah kalimat paragraf pertama pada pembukaan UUD 1945 itu masih teringat oleh mereka? Mungkin untuk membuktikannya Presiden JokoWidodo harus aktif dalam forum ASEAN atau PBB untuk menyelesaikan permasalahan kemanusiaan yang terjadi di Myanmar. Bisa juga dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) seperti halnya Presiden Soeharto yang ketika itu mengeluarkan Keppres Nomor 38 Tahun 1979 tentang Koordinasi Penyelesaian Masalah Pengungsi Vietnam di Indonesia atau bahkan mengakui pengungsi Rohingya sebagai warga negara Indonesia.

Mediaislamia.com






Tidak ada komentar:

Posting Komentar