Minggu, 19 Juli 2015

Suara Hati Anak Pengungsi Ambon untuk Bapak Jusuf Kalla dan Pemimpin Muslim di Indonesia Terkait Duka Idul Fitri di Tolikara, Papua



SEHARUSNYA saya bertakbir penuh rasa syukur dan bahagia mengisi hari di langit kemenangan, akan tetapi saya mengingat luka dan airmata saat mengenang tragedi Ambon di tahun 99 manakala seorang sister di Finlandia mengirim tautan dalam bahasa Inggris mengenai penyerangan saat idul fitri di Tolikara, Papua.
Sebagai anak bangsa yang berada di rantau, saya menjawab tergesa-gesa kepada sister bahwa mungkin saja ini hanya berita hoax.
Saya benar-benar berharap bahwa berita ini adalah hoax agar saya dan anak-anak yang pernah mengalami luka ini tak perlu lagi membuka kisah perjalanan derita yang sudah terikat damai di bumi Malino.
Namun saya harus menerima kenyataan bahwa Bapak pemimpin Indonesia telah lalai menjaga martabat dan harga diri anak Muslim di tanah air dari ekstrimis Kristen yang biadab dan menginjak hak orang-orang Islam berhari raya.
Orang-orang arogan yang tidak belajar dari peristiwa di masa lalu.
Saya mengingatkan lagi luka yang telah lalu. Ya, luka tujuh belas tahun ketika saya berdiri sebagai gadis pengungsi di negeri orang, Ternate.
Menceritakan derita ini seperti mengingat kenangan yang mengotori hati perdamaian. Tapi apa mau dikata! Inilah kisah yang seharusnya semua umat beragama yang berada di Indonesia belajar dari peristiwa, terlebih lagi pemerintah.
Ya, pemerintah. Kenapa musti pemerintah? Tak pernah sedikitpun peristiwa ini hilang dari ingatan manakala tepat di malam idul fitri peristiwa yang mencabik-cabik ikatan pela dan gandong, membunuh orang-orang yang sedang merayakan hari raya dan pemerintah hanya diam sampai nyawa dan darah telah menggenang di bumi Ambon Manise masih tak ada tindakan apapun dari pemerintah.
Ingatan saya belumlah rapuh untuk menceritakan detik-detik mencekam menyelamatkan diri menantang maut. Deru bom bersahut-sahut. Dan suara takbir timbul tenggelam.
Saya dan banyak anak-anak dalam rupa tujuh belas tahun yang lalu menyandang status pengungsi akibat konflik yang tiada akhir. Tak paham apa yang pemerintah buat sampai sebuah nama muncul mengembalikan harga diri Muslim, Laskar Jihad.
Bila bisa memutar waktu dengan mengandai. Andai saja pemerintah memerintah TNI dan polisi untuk tembak di tempat bagi yang membuat rusuh tentu bara itu tak akan menjadi abu dan tangis.
Hari ke hari bara itu justru menjadi api yang kian besar membakar. Orang-orang ekstrimis Kristen membumihanguskan perkampungan Muslim dan pemerintah pusat masih dalam wacana ketika banyak nyawa telah hilang.
Dengan tulisan ini saya suarakan kepada pemerintah untuk mengambil tindakan tegas kepada ekstrimis bila tidak ingin bara ini menjadi api. Umat Islam adalah umat yang toleran, akan tetapi bila diserang tidakkah ini hak mereka untuk berdiri membela diri?
Lima tahun hidup dalam pengungsian cukuplah menjadi kenangan untuk saya dan anak-anak lainnya yang pernah kehilangan perlindungan dan hidup penuh kesusahan
******
Bapak Jusuf Kalla yang dihormati ,
Tujuh belas tahun yang lalu saya mengingat nama bapak saat menonton berita dari kaca jendela tetangga dari rumah pengungsi.
Saya berdoa dan berharap dari aksi nyata Bapak sebagai Provokator Perdamaian menjadi jalan saya dan keluarga menginjakkan kaki kembali di tanah lahir.
Dan doa itu terkabul nyata dengan dihukum mati para perusuh.
Hormat saya kepada Bapak menginspirasi saya bergabung bersama PMI walau hanya ditingkat kuliah. Hati saya selalu berdoa semoga perdamaian yang Bapak prakarsai terjaga selamanya walau nyata konspirasi jahat manusia tak akan pernah berhenti.
Sekarang peristiwa ini kembali terjadi di tanah Papua. Namun betapa kecewanya membaca pernyataan Bapak yang terkesan menyudutkan pihak yang justru sedang teraniaya. Mana aksi nyata Bapak memadamkan bara ini?
Bapak adalah pelaku sejarah yang saya dan anak -anak peradaban selalu mengingat keberanian itu. Namun kini, apakah semangat dan keadilan itu telah pudar?
Bila seruan jihad berkumandang itulah tanda perlindungan yang sebenarnya. Dan aksi Bapak hanya akan menjadi sia-sia.
Pernyataan Bapak sungguh melukai umat Islam .Menyalahkan pengeras suara sebagai pemicu terjadinya pembakaran musholla /masjid kios dan beberapa rumah warga adalah pernyataan menyudutkan serta membingungkan.
Kita semua adalah anak kandung ibu pertiwi. Muslim, Nasrani, Hindu, Budha memiliki hak yang sama diperlakukan adil oleh Republik ini.
Dan di hari idul fitri, orang-orang Muslim diserang di Tolikara dan pemerintah diam saja? Tidakkah ini sikap menganaktirikan?
Belajarlah dari peristiwa pahit yang telah lalu! Menunggu keputusan pemerintah seperti menonton pembiaran kebiadaban yang terjadi kepada umat Islam tiada henti.
Saya menulis tidak didasari rasa kebencian tetapi mengingatkan tentang derita yang pernah saya dan ribuan anak-anak pengungsi Ambon alami akibat dari ketidak tegasan pemerintah.
Bapak Jusuf Kalla dan Pemimpin Muslim Indonesia yang saya hormati,
Anak-anak ibu pertiwi bukanlah laboratorium perang. Nyawa dan kehidupan bukanlah lelucon. Hukuman keras untuk perusuh adalah keadilan untuk memadamkan kerusakan yang bisa mengakibatkan api kemarahan menjalar.
Toleransi haruslah menjadi aksi bukan sekedar lips service tetapi kemudian dicabik. Saya menghormati teman-teman agama lain tetapi fakta dari peristiwa ini haruslah diusut tuntas. []
Jablonna, Polandia
*Sebagai orang yang pernah hidup di pengungsian, saya berdoa dan berharap perdamaian selalu terjaga karena perang adalah solusi akhir dari keadilan yang telah mati dan harga diri yang harus dibela.

sumber:islampos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar