Rabu, 22 Juli 2015

Pengakuan Mengejutkan Pengonsep Surat Edaran GIDI

Allah Subhanahu Wa Ta'ala Berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar".    (QS. Al Ahzab : 70) 

Pengakuan pengonsep surat edaran GIDI     (tempo.co)
(Mediaislamia.com) --- Nama Sekretaris Wilayah Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Wilayah Tolikara, Papua, Marthen Jingga dan Ketua GIDI Tolikara Nayus Wenda, menjadi buah bibir dalam empat hari belakangan ini. Sebabnya, gara-gara surat edaran larangan menggelar salat Idul Fitri yang mereka terbitkan diduga menjadi salah satu pemicu kerusuhan yang meletus di Distrik Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, pada Jumat, 17 Juli 2015.   

Kepada Tempo yang menemui dia di rumahnya di Karubaga, Selasa, 21 Juli 2015, Marthen mengakui surat itu dibuat dan dikonsep olehnya bersama Ketua GIDI Wilayah Tolikara, Nayus Wenda. Namun, dia merasa tidak bersalah terkait surat edaran itu. "Sampai hari ini saya tidak merasa bersalah. Surat yang saya ketik sebagai Sekretaris Panitia Seminar dan KKR sekaligus Sekretaris Gidi Tolikara," kata Marthen.

Marthen menegaskan, ia hanya bertugas menyampaikan adanya kegiatan besar di Tolikara. Sebab itu organisasinya meminta tidak ada kegiatan tambahan saat berlangsungnya seminar dan acara Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang bersifat internasional itu. Acara tersebut mengundang 2.500 peserta, termasuk perwakilan dari lima negara, yakni Belanda, Amerika Serikat, Papua Nugini, Palau (kepulauan kecil di Lautan Pasifik), dan Israel.

Lokasi puing-puing kerusuhan Tolikara  (nasional.tempo.co)
Ketua GIDI Tolikara, Nayus Wenda, membenarkan penjelasan Marthen Jingga. Namun, ia tidak menyangka dampak dari peredaran surat itu berujung pada penyerangan kepada umat muslim yang akhirnya memantik kerusuhan di wilayah berpenduduk 140 ribu jiwa itu. "Yang terjadi ini di luar dugaan kami. Tidak terpikir oleh kami akan terjadi masalah seperti ini," kata Nayus di tempat yang sama.

Alasan Nayus, selama ini, umat Islam di Tolikara dan GIDI tidak bermasalah terkait dengan isi surat edaran tersebut. Ia mengklaim surat ini pun bukan atas permintaan GIDI pusat tapi, atas keputusan GIDI Wilayah Tolikara untuk mendukung keamanan kegiatan Seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani Internasional yang berlangsung dari 13-19 Juli 2015 di Tolikara.

Menurut Nayus, surat edaran tersebut merupakan langkah antisipasi dari pihak gereja agar umat muslim di Kabupaten Tolikara mengetahui adanya kegiatan kerohanian GIDI yang bersifat internasional dengan mengundang 2.500 peserta, termasuk perwakilan dari lima negara, yakni Belanda, Amerika Serikat, Papua Nugini, Palau (kepulauan kecil di Lautan Pasifik), dan Israel.

Surat Edaran GIDI
Meski sudah menerbitkan surat larangan pada 11 Juli 2015, Marthen dan Nayus mengaku sudah meralat surat itu atas desakan dari Bupati Tolikara Usman G. Wanimbo dan Presiden GIDI Dorman Wandikmbo. Surat itu bertanggal 15 Juli 2015. Nomor surat ralat sama yaitu Surat Pemberitahuan Nomor 90/SP/GIDI-WT/VII/20165. Isinya terdiri atas tiga poin:

1. Acara membuka lebaran 17 Juli 2015 boleh dilakukan di Karubaga Kabupaten Tolikara
2. Hanya jangan dilakukan di lapangan terbuka tetapi lebih baik di musala dan halaman musala sekitarnya
3. Dilarang kamu muslimat memakai pakai jilbab dan berkeliaran di mana-mana

Surat ralat pada 15 Juli 2015 ini merupakan koreksi atas surat sebelumnya bertanggal 11 Juli 2015 berisikan sejumlah larangan:

1. Acara membuka lebaran tanggal 17 Juli 2015, kami tidak mengijinkan dilakukan di Wilayah Kabupaten         Tolikara (Karubaga);
2. Boleh merayakan hari raya di luar Kabupaten Tolikara (Wamena) atau Jayapura;
3. Dilarang kaum muslimat memakai pakaian jilbab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar