Jumat, 24 Juli 2015

Media Biaskan Kasus Tolikara

Oleh: Abdul Hakim
Sebuah masjid Baitul Muttaqieb di Tolikara, Papua dibakar saat shalat Idul Fitri, Jum’at (17/7/2015) lalu. Segera, peristiwa itu menjadi berita di hampir seluruh media. Namun, ternyata banyak pemberitaan yang mengaburkan kebenaran.
Berikut ini cara media mengaburkan kasus pembakaran Masjid Baitul Muttaqien di Tolikara Papua:
Pertama,  yang dibakar adalah mushollah
Banyak media memberitakan bahwa yang dibakar adalah mushollah. Baik di judul maupun badan berita, yang disebut adalah mushollah. Istilah mushollah tentu membuat publik memiliki persepsi berbeda. Mushollah itu kecil, tidak dipakai shalat Jum’at. Faktanya, yang dibakar adalah Masjid Baitul Muttaqin.
Kedua, Yang dibakar adalah kios
Lebih bias lagi, berita-berita yang menyebutkan bahwa yang dibakar adalah kios bukan masjid atau mushollah. Berita-berita tersebut bersumber dari Kepala Staf Presiden Republik Indonesia, Luhur Binsar Panjaitan. CNN Indonesia menurunkan dalam berita berjudul “Luhut: Pembakaran Terjadi di Kios Bukan di Musala”
Ketiga, Aksi tidak ditujukan kepada umat Islam
Selain menyebut yang dibakar adalah kios, Luhut juga menyebut bahwa aksi tersebut tidak ditujukan kepada umat Islam. Padahal, kelompok massa yang diketahui berasal dari Jemaat Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) itu sempat menyerang ke arah jamaah shalat Idul Fitri sebelum akhirnya membakar masjid.
Keempat, Mengubah berita menjadi bias
Laman Metrotvnews misalnya, diketahui melakukan perubahan berita yang semula berjudul “Saat Imam Takbir Pertama, Sekelompok Orang Datang dan Lempari Musala di Tolikara” menjadi “Amuk Massa Terjadi di Tolikara”. Isi berita pun diubah, yang semula menyebut “Sejam kemudian, orang-orang itu melempari Musala Baitul Mutaqin yang berada di sekitar lokasi kejadian. Mereka juga membakar rumah ibadah tersebut” diubah menjadi “Sejam kemudian, orang-orang itu melempar batu dan membakar bangunan di sekitar lokasi kejadian. Enam rumah dan sebelas kios pun menjadi sasaran amukan orang-orang itu.”
Kelima, Mengarahkan pada persepsi umat Islam yang salah
Kendati memberitakan rumah ibadah umat Islam dibakar, sejumlah media banyak memberitakan dari sumber yang menyebut penyebab peristiwa tersebut adalah umat Islam yang memakai speaker atau umat Islam telah diingatkan tidak merayakan hari raya. Berita-berita tersebut agaknya membentuk persepsi pembaca bahwa bagaimanapun juga yang salah adalah umat Islam.
Keenam,  Tidak menyebut tindakan teror
Ketika ada perusakan rumah ibadah non Muslim, dengan serta merta media-media menyebut aksi tersebut sebagai tindakan teror dan pelakunya adalah teroris. Namun ketika yang dibakar adalah masjid, banyak media enggan menyebut tindakan tersebut sebagai teror dan pelakunya adalah teroris.
Ketuju, Membesar2kan info jatuhnya korban dari pihak non-Muslim
Mereka juga membelokkan opini dengan menciptakan opini lain seakan-akan jatuhnya korban dari pihak non-Muslim. 1 orang tertembak mati dan yang lainnya luka-luka.
Ingat dimana-mana yang namanya korban adalah obyek perbuatan kejahatan, dalam hal ini tentu saja pihak Muslim yg diserang, jika ada yang terluka dari pihak penyerang maka bukan “korban/victim” dalam artian sebenarnya, itu konsekuensi perbuatan jahat.
Kedelapan, Menciptakan opini bahwa mereka diserang
Mereka membuat berita bahwa sebenarnya kelompok non-Muslim mau datang untuk berdialog bukan menyerang, tiba-tiba aparat penjaga menyerang mereka. Ini tidak masuk akal, mana mungkin aparat tiba-tiba menyerang tanpa ada kondisi yang menurut aparat mengancam keselamatan atau membahayakan.
Fitnah mereka luar biasa bahwa mereka berani menyudutkan/mengorbankan aparat keamanan Indonesia sebagai pihak yang patut disalahkan. Ini juga menyadarkan kita betapa akses dan peran umat Islam dalam pemerintahan kita begitu lemah.
Kesembilan, Presiden tidak mengeluarkan sikap
Sikap presiden yang diam saja, bahkan cenderung cuek dengan aksi terorisme di Tolikara, semakin mengaburkan substansi masalah. Sikap aparat menjadi bingung karena seakan-akan belum mendapat restu bertindak dari kepala negara, maka tindakan merekapun setengah hati, sehingga proses pencarian fakta menjadi berlarut.*
Aktivis sosial Surabaya
(MI/Hidayatullah.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar