Muslim di Papua saat ini capai 40% dari total Jumlah penduduk
Ada tiga kesalahan dalam memandang Papua.
●Pertama, Papua identik dengan koteka, ●Kedua, hanya orang-orang primitiv dan ●Ketiga, Identik dengan Kristen. Padahal, itu keliru
Untuk poin pertama dan kedua boleh jadi benar, bahwa di kawasan-kawasan tertentu di pedalaman bumi cenderawasih ini, hingga hari ini masih diketemukan masyarakat dengan pola hidup primitif,
sebagian masih mengenakan koteka, serta menjalani hidup secara kanibal.
Hal itu terjadi karena beberapa faktor, seperti terbatasnya akses informasi (atau bahkan ketiadaan informasi yang mereka terima) serta luasnya kawasan tersebut yang hampir 4 kali luas pulau Jawa. Bahkan, Papua, termasuk pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland di Denmark.
Fakta lain yang selama ini terselimuti kabut tebal adalah populasi Muslim di kawasan ini.
Banyak orang yang bertanya-tanya, adakah orang Islam di Papua?
Adakah komunitas muslim pribumi (penduduk asli Papua) yang memeluk Islam sebagai agama mereka?
Ironisnya, belum lagi pertanyaan itu terjawab, seolah ada ungkapan pembenaran bahwa: Papua identik dengan Kristen. Atau dengan bahasa yang lebih lugas lagi: setiap orang Papua ya mesti Kristen.
Opini negative seperti ini kurang menguntungkan bagi pertumbuhan dan dakwah Islam.
Bahkan saat ini jumlah komunitas Muslim di Papua sudah mencapai angka 900.000 jiwa dari total jumlah penduduk sekitar 2.4 juta jiwa, atau mencapai 40 % dari keseluruhan jumlah penduduk Papua.
60% sisanya merupakan gabungan pemeluk agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Animisme, dan mayoritas dari 60% ini adalah animisme dipedalaman.
Ditengah imej yang tidak kondusif seperti itu, ditambah lagi “tekanan psikologis” suasana lingkungan yang serba Kristen, dimana setiap mata memandang banyak gereja sebagai hasil kerja para missionaris.
Pelan tapi pasti komunitas Islam tumbuh dan menyinari bumi cenderawasih atau Nuu War nama yang diberikan Ust. Fadzlan.
● Ismail Saul Yenu (67) adalah mantan pendeta sekaligus kepala suku besar serui di Yapen Waropen telah masuk Islam dengan diikuti istri dan anaknya.
Ismail mengatakan "Misionaris kristen tidak melakukan perubahan kearah kemajuan, peradaban primitif mereka biarkan dianggap sebagai peninggalan budaya"
Setelah masuk Islam Ismail nyantri beberapa waktu di pesantren Ust. Fadzlan di bekasi, setelah itu kembali kekampungnya untuk mendakwahkan Islam, banyak anggota suku yang bersyahadat.
Ismail yang juga Ketua Benteng Merah Putih pembebasan Irian Barat dan Ketua Assosiasi Nelayan Seluruh Papua telah menunaikan ibadah haji pada tahun 2002.
● Seorang pendeta di Biak Numfor bernama Romsumbre (Abdurrahman) juga telah masuk Islam beserta keluarga dan 4 orang anaknya.
● Wilhelmus Waros Gebse Kepala suku Marin, Merauke juga telah meninggalkan agama lamanya Katolik dan memilih masuk Islam bersama Istri dan anak-anaknya.
Kini Wilhelmus sedang merintis sebuah pondok pesantren di kampung halamannya di Merauke.
Saat ini, di desa Bolakme, sebuah distrik di Lembah Baliem, seorang pendeta dan kepala suku bersama 20 orang warganya ingin sekali memeluk Islam.
Berkali-kali keinginan itu disampaikan ke tokoh masyarakat Muslim, akan tetapi pihak MUI agaknya sangat berhati-hati dalam menerima mereka.
Alasannya, di samping faktor keamanan, juga pembinaan terhadap mereka setelah itu. "Inilah tantangan bagi kita, tidak sedikit penduduk asli yang ingin masuk Islam, tapi kita kekurangan dai.” tutur H.Burhanuddin Marzuki, ketua MUI Kabupatern Jayawijaya yang sudah 30 tahun tinggal di Lembah Baliem.
● Berita yang sempat meramaikan media massa adalah masuk Islamnya “kepala suku perang” H. Aipon Asso pada tahun 1974.
Sebelum itu, tetua adat di desa Walesi bernama Marasugun telah lebih dulu masuk Islam.
Keislaman Aipon Asso lalu diikuti oleh 600 orang warganya di desa Walesi.
H. Aipon yang kini sudah berusia 70 tahun menjadi kepala suku yang sangat di segani di seluruh lembah Baliem.
Wilayah kekuasaannya membentang hampir 2/3 cekungan mangkuk lembah Baliem.
Ia adalah sosok kepala suku mujahid yang sangat diperhitungkan di kawasan ini.
Bahkan ketika ia baru pulang dari menunaikan ibadah haji (1985), dengan mengenakan surban dan baju gamis panjang, secara demonstratif ia turun ke jalan dan melakukan pawai di pusat kota Wamena sambil mengerahkan ratusan warganya yang masih mengenakan koteka dan bertelanjang dada.
Teringatlah kita pada kisah sahabat Nabi Muhammad yakni Umar bin Khattab ketika akan melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah yang dilakukannya tanpa sembunyi-sembunyi dan tanpa ada rasa takut.
Saat kerusuhan menimpa Wamena tahun 2000 lalu, sebagian pendatang baik Muslim maupun Kriten dicekam rasa takut.
Tidak terkecuali Muslim pribumi pun mengalami hal serupa. Untuk meredam situasi, pihak pemerintah menyelenggarkan pertemuan dengan kepala-kepala suku dan tokoh-tokoh agama.
Dalam pertemuan dengan jajaran pemerintah daerah tersebut H. Aipon mengusulkan ditempatkannya aparat keamanan secara permanen di kawasan ini dan itu disetujui.
Di ibukota provinsi Papua, Jayapura, seperti juga di kota-kota lain seperti Fak-Fak, Sorong, Wamena, Manukwari, Kaimana, Merauke, Timika, Biak dan Merauke, suasana keislaman semakin tampak, khususnya di kalangan pendatang.
Selain jumlah rumah ibadah yang semakin bertambah, kegiatan pengajian juga tumbuh subur.
Penduduk Muslim di kota terdiri dari para pedagang, pagawai, pengusaha, pelajar/mahasiswa, guru, atau buruh.
Secara keseluruhan jumlah komunitas Muslim di Papua mengalami peningkatan yang cukup pesat, utamanya di kota kabupaten atau provinsi.
Dalam catatan yang dikeluarkan oleh LP3ES Papua, termasuk dari 7 kantong-kantong Kristen di seluruh Papua yang semakin menyusut, Jumlah penduduk Muslim semakin tumbuh.
Secara historis, ummat Islam adalah pendatang awal di Tanah Papua sebelum misionaris tahun 1855,
Adalah sultan Ternate Tidore yang yang sebelum misionaris tiba di Papua telah bolak balik Tidore - Papua pada abad ke 15.
Dan itu sudah tertuang dalam buku putih yang dikeluarkan oleh Pemerintah Papua,
Dalam disertasi DR Toni VM Wanggai yang adalah Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Yapis Jayapura, bahwa sosialisasi dan pelurusan sejarah Islam di Papua harus dilakukan terus menerus.
Hal itu perlu dilakukan agar ummat Islam di Papua mengetahui jati diri mereka, sekaligus menginformasikan kepada fihak lain yang belum faham, untuk tidak menganggap kaum Muslimin sebagai ‘tamu di Papua’.
Islam hadir di Papua abad ke-XV sedang Kristen masuk Papua pertengahan abad ke-XIX (5 Februari 1855).
Pada saat ini ada kecemburuan / dengki kelompok misionaris dengan pesatnya pertumbuhan Islam di Tanah Papua.
Karena pengaruh mereka lambat laun akan berkurang dan kepentingan mereka akan terusik.
Salah satu buktinya adalah upaya dari kelompok Kristen yang ingin menghapuskan jejak Islam di kawasan ini, khususnya di kawasan Raja Ampat Di mana nama “Raja Ampat” akan dihilangkan dan diganti dengan nama lain. Padahal, nama Raja Ampat adalah se-monumental sejarah Papua sendiri.
“Nama Raja Ampat diambil dari eksistensi kerajaah-kerajaan Islam yang berkuasa di kawasan Indonesia timur saat itu yakni: Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan.” tegas Toni yang mengambil desertasinya tentang ‘Rekontruksi Sejarah Islam Papua’.
GIDI adalah gereja yang diketuai pendeta Nayus Wenda yang agak rada provokatif dan radikal.
Pihak gereja selain GIDI juga mengungkapkan ketidak senangan mereka terhadap GIDI.
Tidak mustahil juga ada pihak lain di belakang GIDI yang memprovokasi.
Penduduk Asli Papua sekali lagi bukan tipe yang memiliki sentimen keagamaan bahkan mereka antusias terhadap Islam seperti telah ditulis diawal tulisan ini. Lagipula kebanyakan penduduk asli dipedalaman masih belum beragama (animisme)
Bila Umat Islam nanti menjadi mayoritas di Papua maka pihak pihak yang ingin pisah dari NKRI akan kehilangan banyak pendukung bilapun dilakukan referendum.
Umat Islam Papua memang rentan menjadi ‘kambing hitam politik’ oleh kelompok kepentingan yang sudah lama ingin menguasai Papua dan ingin memisahkan diri dari NKRI.
(Dari berbagai sumber )
والله أعلم بالصواب
Tidak ada komentar:
Posting Komentar