Selasa, 30 Juni 2015

“ISLAM NUSANTARA” MENIRU “ISLAM ALA PERSIA”



Ide “Islam Nusantara” yang digelontorkan oleh kalangan liberalis pada saat ini, tidak lebih dari sekedar meniru jejak kalangan Syiah yang telah berhasil membuat “Islam ala Persia”, dimana mereka telah berhasil menjejalkan budaya Persia kedalam ajaran Islam.
Kita mendapati Islam yang ditampilkan oleh kalangan Syiah tidak jauh berbeda dengan agama majusi yang di kombinasikan dengan budaya bangsa Persia kemudian disesuaikan dengan ajaran Islam.
Sehingga kita mendapati perbedaan yang sangat jauh antara ajaran Syiah dengan ajaran Islam, mulai dari perbedaan yang prinsipil seperti Arkanul-Islam dan Arkanul-Iman, berikutnya perbedaan ritual dan gaya mereka berbudaya dalam menumpahkan emosi mereka saat meratapi Al-Husain RA dan membenci pembunuhnya, sampai kepada cara mereka dalam menyelenggarakan hari-hari perayaan pun tidak lain hanyalah melanggengkan budaya dan ritual bangsa Persia.
Maka disaat kalangan liberalis Indonesia merancang “Islam Nusantara” maka konsepsinya tidak akan jauh dari pola saudara mereka kalangan “Syiah” yang sama-sama tergabung dalam AKBB.
Bahan dasar yang mereka jadikan sebagai kerangka acuan agama baru yang mereka namai “Islam Nusantara” pun tidak akan jauh berbeda pula, karena bersumber dari aliran-aliran sesat yang menjadi anggotanya.
Mereka memulai launchingnya dengan meletupkan atraksi-atraksi sebagai test on the water, mulai dari menampilkan bacaan Al-Qur’an dengan langgam jawa, memunculkan buku yang meragukan kesucian Al-Qur’an, mengadukan hadits dengan logika dan yang paling terakhir kitapun menyaksikan bagaimana orang melakukan Sholat Tarawih dengan super cepat dengan meringkaskan bacaannya dan membuang Thuma’ninahnya.
Budaya Nusantara yang paling kuat dan berakar pada saat ini adalah budaya jawa, yang berasal dari pola sinkretisme yang berasal dari agama Budha, pola ini yang akan mereka kombinasikan dengan keyakinan “Manunggaling Kawula Gusti” yang telah mengakar di Negeri ini dan biasa disebut aliran “Kejawen”, berikutnya tinggal disesuaikan dengan ajaran “Islam”.
Pada saat ini pula tokoh mereka yang terdepan dan paling vokal adalah Said Agil Sirodj yang telah memaparkan dengan sangat jelas bagaimana pembelaannya terhadap ajaran “Wihdatul-Wujud” yang substansi ajarannya tidak jauh berbeda dari keyakinan “Manunggaling Kawula Gusti” yang ada dalam aliran “Kejawen”.
Tokoh ini pula dengan lantangnya menunjukkan pembelaannya kepada Syeikh Siti Jenar yang telah dihukum mati karena menyebarkan ajaran “Wihdatul-Wujud” di negeri ini.
Situasi dan kondisi Negeri kita pada saat ini sangat kondusif untuk pemunculan ide “Islam Nusantara”, karena akan mendapat dukungan yang sangat kuat dari Rezim Penguasa periode ini, jika dilihat dari dukungannya yang sangat kentara kepada budaya jawa yang sedang membahana saat ini.
Sungguh sangat berbahaya ide gila ini, karena akan mencerabut Islam sampai keakar-akarnya, sehingga jika dibiarkan merebak dan semakin menguat serta mampu mendominasi Muslimin, maka berikutnya kita tidak perlu keheranan jika nanti ajaran Islam hanya ada pada ritual-ritual kosong yang telah dikombinasikan dengan budaya-budaya lokal yang berasal dari luar ajaran Islam.
Sungguh tidak jujur mereka itu, dimana mereka menamakan “Islam” untuk suatu agama yang berbeda secara substansial dan prinsipil dengan ajaran Islam.
Jika kita bijaksana dan beradab, maka sikap yang kita ambil adalah membiarkan setiap agama pada keaslian dan ciri khasnya masing-masing, bukan malah mencampur adukkan ajaran Islam dengan ajaran agama lainnya, namun dipaksakan namanya masih tetap “Islam”.
Jika ide ini dibiarkan maka agama Islam akan terbelah menjadi beberapa agama : Islam Arab, Islam Jawa dan Islam Nusantara, mengapa?
Kalangan muslimin yang tetap mempertahankan bahasa arab dan pola penerapannya dalam beragama dan meyakininya sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari ajaran Islam akan disebut “Islam Arab”.
Kalangan yang ingin mengkombinasikannya dengan aliran “Kejawen” dan membuang bahasa arab dari penerapan ajaran Islam, akan disebut “Islam Jawa”.
Kalangan yang ingin mengkombinasikannya dengan berbagai macam budaya lokal yang telah mengakar di Negeri ini, akan disebut “Islam Nusantara”.
Kalau hal ini bisa benar-benar terjadi di Negeri ini maka tertawalah kalangan liberalis menyaksikan keberhasilan mereka dalam melemahkan ajaran Islam dan memporak porandakan muslimin.
sumber:gemaislam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar