Senin, 17 Agustus 2015

Kisah Tentang Si Penyebar Kabar Indonesia Merdeka

Allah Subhanahu Wa Ta'ala Berfirman :
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِي مَا أَفَضْتُمْ فِيهِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
"Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar".    (QS. An Nur : 14) 

Jusuf Ronodipuro       (cnnindonesia.com)
(Mediaislamia.com) --- Namanya Jusuf Ronodipuro. Tak banyak orang mengenal dirinya. Sebab, ia bukan sosok yang kerap diceritakan guru-guru sejarah di sekolah. Bukan pula tokoh yang muncul dengan ucapan yang berapi-api di podium-podium perjuangan. Namun jika tak ada dirinya, pernyataan kemerdekaan Indonesia tak akan bisa terdengar hingga ke manca negara.

Cerita soal Jusuf dan proklamasi kemerdekaan Indonesia bermula dari sebuah petang pada 17 Agustus 1945. Kala itu sekitar pukul 17.30 WIB Jusuf sedang berada di kantornya, Hoso Kyoku -sebuah Radio Militer milik Jepang di Jakarta. 

Tanpa diduga, tiba-tiba muncul seorang pemuda bernama Syahruddin dari kantor berita Domei yang masuk dengan meloncati tembok belakang kantor milik Jepang itu. Dari tangan Syahruddin, secarik kertas berisi pesan dari Adam Malik -tokoh pergerakan yang kelak menjadi Wakil Presiden ketiga Indonesia- berpindah tangan.
Pesan Adam Malik: "Harap berita terlampir disiarkan”. Berita yang dimaksud Adam ternyata adalah naskah proklamasi yang sudah dibacakan Soekarno dan Mohammad Hatta pukul 10 pagi hari itu.

Mendengar kepercayaan yang diberikan kepadanya itu, Ronodipuro lantas berunding dengan beberapa koleganya, termasuk Bachtiar Lubis -kakak kandung dari Mochtar Lubis wartawan kelak memimpin Harian Indonesia Raya. Alhasil setelah berdiskusi soal strategi, tepat pukul 19.00 WIB Jusuf membacakan ulang naskah proklamasi yang siarannya ditangkap di semua pelosok. 

Kala itu Jusuf dan Bachtiar menggunakan ruang siaran luar negeri yang ditutup pihak Jepang pada 15 Agustus 1945. Sebuah kebetulan hari itu ruangan tidak dijaga, tapi masalah tidak selesai hingga di situ, sebab mereka harus membuat seolah-olah siaran itu mengudara dari siaran dalam negeri. 

Proklamasi Kemerdekaan RI      (ayhasamsuel.blogspot.com)
"Ada satu orang petugas teknik yang dengan ringan bicara kalau itu mudah, namanya Joe Saragih. Katanya, bisa saja, 'kan tinggal dicolok," kata Jusuf seperti dituliskan LP3ES dalam situsnya. Jusuf adalah penasehat bagi Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), nirlaba dan otonom. 

Upaya Jusuf itu akhrinya berhasil. Sementara ada penyiar yang berada di ruang siaran dalam negeri tetap pura-pura membaca berita, sebagai kedok bagi penjagaan Jepang, Jusuf membacakan naskah proklamasi itu tepat pada acara berita malam selama sekitar 15 menit. 

Siaran Jusuf inilah yang akhirnya banyak didengar orang di seluruh pelosok Indonesia dan dunia. Membuat para pendengar tahu bahwa hari itu Indonesia telah bebas merdeka. Proklamasi yang dibacakan ulang oleh Jusuf membuat dunia terbelalak bahwa telah lahir sebuah bangsa baru yang berdaulat penuh, bernama Indonesia.

Selesai 15 menit siaran, aksi Jusuf ternyata harus dibayar mahal. Ia dan kawan-kawannya ditangkap oleh Kempetai -intelijen jepang- lantas dipukuli. Alhasil lutut kiri Jusuf cacat akibat diinjak oleh sepatu lars tentara. Bahkan kepalanya nyaris dipenggal oleh samurai jepang. Beruntung Jusuf dapat lolos dari ancaman maut.

Dengan kondisi payah dan pakaian berlumuran darah, Jusuf kemudian berusaha bangkit. Awalnya, Jusuf ingin pulang ke Salemba, namun badannya tidak kuat akibat luka bekas pukulan. Lantas dengan bersepeda ia singgah ke rumah sahabatnya, Basuki Abdulah di daerah Gambir buntu. Besoknya balik ke rumah sakit di Salemba, dan bertemu dokter Abdurahman Saleh. Dari pertemuan itu juga cikal bakal Radio Republik Indonesia berdiri.

Jusuf adalah salah seorang pendiri Radio Republik Indonesia (RRI) pada tanggal 11 September 1945. Sebelumnya, bersama teman-temannya ia terlibat dalam perebutan stasiun radio di seluruh Jawa dari tangan Jepang. Jusuf juga pencipta slogan RRI "Sekali di udara, tetap di udara". 

Saat menjabat Kepala Stasiun RRI Jakarta pada 1950, Jusuf-lah yang merekam (dengan terlebih dahulu membujuk) Bung Karno untuk membaca kembali teks proklamasi. Hasilnya, RRI memiliki satu-satunya rekaman deklarasi kemerdekaan Indonesia. 

“Bapak tak banyak bercerita soal kisah hidupnya, bukan artinya ia tak penting, bapak adalah orang yang tak suka menonjolkan diri,” kata Dharmawan Ronodipuro putra sulung Jusuf Ronodipuro, saat berbincang dengan CNN Indonesia Rabu pekan lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar