Jumat, 18 September 2015

Pakar Fiqih: Puasa Arafah Ditentukan Karena Tanggal 9 Dzulhijjah, Bukan Wukuf

Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA
Sebagian umat Islam masih memperdebatkan penentuan Hari Raya Idul Adha. Di antara mereka mengatakan bahwa penentuan Hari Raya terbesar kedua umat Islam itu ditentukan sehari setelah pelaksanaan Wukuf Arafah di Arab Saudi. Sementara sebagian lain berpendapat bahwa Hari Raya Kurban ditentukan dengan perhitungan tanggal bulan Dzulhijjah.
Menjawab polemik ini, kiblatnet mencoba bertanya langsung kepada pakar fiqih Indonesia, DR. Ahmad Zain An-Najah, MA. Melalui sambungan telepon beberapa waktu lalu, beliau menjelaskan secara runut bagaimana mendudukan perkara ini.
Alumnus Universitas Kairo ini memaparkan bahwa penentuan Hari Raya Idul Adha sama seperti penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, yaitu dengan Rukyat (melihat Hilal). Hal itu disampaikan banyak ulama, seperti syaikh Utsaimin, syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan syaikh Albani.
“Jadi, menentukan Hari Raya Idul Adha itu seperti menentukan Hari Raya Idul Fitri,” papar direktur Pesantren Tinggi Al-Islam Bekasi ini.
Terkait perbedaan Wihdatul Mathlak (satu tempat terbit) dan Ikhtalaful Mathalik (berbeda-beda tempat terbit), ustadz yang akrab disapa Ustadz Zain ini lebih condong pada pendapat yang mengatakan rukyah itu dilakukan masing-masing negara umat Islam. Artinya, jika satu negara melihat Hilal sementara negara lainnya belum melihat Hilal, maka bagi negara yang melihat Hilal wajib menentukan 1 Dzulhijjah hari itu. Adapun negara lainnya tidak wajib dan menggenapkan bulan.
Untuk menguatkan pendapat ini, beliau mengemukakan beberapa dalil:
  • Pertama: Hadist Nabi SAW yang sangat terkenal, yang artinya berbunyi “Jika kalian melihat hilal maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya maka berbukalah. Jika tak terlihat oleh kalian maka genapkanlah.” (HR. Ahmad).
  • Kedua: Hadist Quraib. Dalam hadist itu diceritakan bagaimana terjadi perbedaan menentukan awal Ramadhan antara sahabat Ibnu Abbas yang saat itu berada di Madinah dan sahabat Muawiyah yang saat itu di Syam. Artinya, masing-masing wilayah berhak menentukan awal bulan baru dengan rukyat sendiri.
  • Ketiga: Hadist yang artinya, “Puasa di hari orang-orang (pada) berpuasa, berbuka (untuk hari raya) di hari orang-orang (pada) berbuka dan menyembelih (kurban) di hari orang-orang (pada) menyembelih.” Ustadz Zain menjelaskan bahwa maksud dari hadits tersebut adalah lakukanlah itu semua bersama masyarakat setempat.
Ini semua dari dalil Syar’i. Adapun dalil secara akal, lanjut beliau, bahwa kita diperintahkan untuk bersatu dan tidak berpecah belah. Jika masyarakat suatu negara sudah mengumumkan 1 Dzulhijjah besok Jumat (26/09), berarti seluruh rakyat yang ada demi menjaga persatuan, sebaiknya mengikuti ketetapan itu. Karena ketetapan itu sudah dimusyawarahkan dengan ormas-ormas Islam yang ada.
Bukankah puasa Arafah itu puasa yang dilaksanakan ketika jamaah Haji wukuf di Arafah? Menjawab pertanyaan ini, Ustadz Zain mengemukakan hadist Aisyah radiyallahu anha yang menyebutkan bahwa sesungguhnya hari Arafah adalah hari yang diketahui manusia.
Bapak empat anak ini menandaskan, bagaimana manusia dapat mengetahui hari wukuf di Arafah sementara mereka tidak mengetahui tanggal 1 Dzulhijjah. Artinya, penetapan wukuf di Arafah berdasarkan rukyat awal bulan Dzulhijjah sementara masing-masing negara berhak menentukan rukyat sendiri-sendiri.
“Jadi, hari itu (Arafah) adalah hari yang diketahui oleh manusia. Maka yang rojih dalam hal ini, puasa Arafah itu tanggal 9 Dzulhijjah, bukan karena jamaah Haji wukuf di Arafah,” tandasnya.
artikel:kiblatnet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar