Di media sosial, tidak sedikit netizen membagikan foto ini disertai tulisan bahwa Arab Saudi memperlakukan jenazah tidak manusiawi. Sebagian yang lain menuduh Arab Saudi lamban menangani korban. Secara tidak sadar, mereka termakan propaganda Syiah yang saat ini gencar “menghantam” Arab Saudi dengan “peluru” Tragedi Mina.
Benarkah Arab Saudi memperlakukan jenazah tidak manusiawi dan lamban menangani korban? Tulisan salah seorang jamaah haji,Salkamal Tan, ini menjawabnya:
Sebagian dari kita mungkin pernah melihat foto di bawah ini dishare dengan berbagai komentar mulai dari prihatin, berdoa, sampai nyinyir menyebut penanganan korban yang tidak manusiawi. Bagi para supporter syiah, anti negara Arab Saudi biasanya akan berteriak lantang, "bayangkan jika jenazah orang tua kita diperlakukan begini" (foto 1 dan 2)
Biasanya yang komentar terakhir akan keluar dari ketikan jari mereka yang tidak paham tentang prinsip penanganan korban bencana atau dia paham tapi kebencian terhadap Arab Saudi-nya mengalahkan akal sehat (entah karena syiah, JIL, anti wahabi atau sebab lainnya).
Dalam sebuah bencana massal yang menelan banyak korban baik itu akibat ulah manusia ataupun bencana alam ada beberapa tahapan penanganan, salah satu tahapan tersebut adalah tanggap darurat.
Tanggap darurat dilakukan saat terjadinya bencana dan batas waktunya tidak dapat ditentukan yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa korban sebanyak-banyaknya dan meminimalisir efek negatif dari bencana tersebut terhadap korban dan lingkungan. Untuk itu perlu dilakukan langkah cepat, yang biasanya dijalankan melalui metode triage atau triase.
Prinsip triase di rumah sakit berbeda dengan triase saat tanggap darurat bencana. Pada saat bencana prinsip triage yang dijalankan adalah menyelamatkan terlebih dahulu korban yang memiliki harapan hidup lebih besar yang pada pelaksanaannya para korban dibagi ke dalam empat tanda pita (kelompok):
- Warna Hitam (penderita sudah tidak dapat ditolong lagi/meninggal),
- Merah (penderita mengalami kondisi kritis sehingga memerlukan penanganan yang lebih kompleks),
- Kuning (kondisi penderita tidak kritis),
- Hijau (penanganan pendirita yang memiliki kemungkinan hidup lebih besar. Penderita tidak memiliki cedera serius sehingga dapat dibebaskan dari TKP agar tidak menambah korban yang lebih banyak. Korban tanda pita hijau mendapatkan prioritas terlebih dahulu.
Triage wajib dilakukan dengan kondisi ketika penderita/korban melampaui jumlah tenaga kesehatan. Setelah korban dievakuasi ke rumah sakit prinsip triase akan berubah di mana yang mendapat tanda pita merah menjadi prioritas.
Silahkan lihat pada foto pertama di situ tampak tumpukan jenazah, tidak manusiawi kah para petugas Arab Saudi? Jenazah tidak sengaja tertumpuk, karena pada situasi musibah di Mina para korban saling bertubrukan dan menimpa atau saling menginjak satu sama lain. Sekarang lihat para petugas, tampak mereka sedang bekerja keras mencari korban yang mungkin masih bisa diselamatkan untuk segera diberikan penanganan awal dan dievakuasi ke fasilitas kesehatan yang lebih memadai guna mendapatkan penanganan medis segera. Sementara banyak dari kita lebih banyak nyinyir seperti orang yang berkerumun saat terjadinya musibah kecelakaan atau kebakaran kemudian ambil gambar atau selfie.
Lalu bagaimana dengan nasib para jenazah? Ada langkah selanjutnya di mana korban yang tanda pita hitam akan dikumpulkan kemudian dibawa ke pusat pemulasaran jenazah untuk selanjutnya akan diidentifikasi sesuai dengan tanda pengenal yang ada.
Kenapa lamban sekali proses penanganan nya?
Tahukah Anda, bahwa Petugas Arab Saudi hanya memerlukan waktu 4-5 jam untuk melakukan fase tanggap darurat sejak kejadian pada tanggal 24/9/2015 pukul 8 pagi waktu setempat. Pada waktu sekitar pukul 12 atau 13 siang, petugas telah berhasil mengevakuasi ribuan korban dan lintasan jalur menuju jamarat sudah dapat digunakan jamaah kembali. Bahkan banyak jamaah yang tidak menyadari bahwa ada kejadian musibah ini seperti tidak terjadi apa apa, termasuk saya sendiri.
Kenapa lamban sekali mengidentifikasi korban?
Seperti yang disampaikan Kepala Pengelola Haji Indonesia perlu butuh kecermatan dalam mengidentifikasi korban. Mengingat banyak korban yang tidak membawa identitas diri saat hendak pergi melontar, tidak membawa tas kecil yang berisikan kartu dapih A semacam KTP, buku kesehatan jamaah haji (BKJH) sehingga beberapa memerlukan konfirmasi kepada keluarga korban yang ikut beribadah atau kepada ketua kloter. Begitu teridentikasi secara pasti maka akan diurus segala hal administratif, dan penguburan secara layak. Tahukah kita bahwa di masjidil haram setelah setiap sholat wajib selalu diikuti dengan sholat ghoib berjamaah untuk kebaikan seluruh jamaah yang meninggal baik karena sakit ataupun musibah?
Alhamdulillah dalam waktu tiga hari, kerja sama yang baik antara petugas, kloter, PPIH dan pemerintah Arab Saudi menunjukkan hasil yang signifikan.
Sebegitu cepatnya petugas Arab Saudi pada fase tanggap darurat juga dilakukan saat kejadian musibah terjatuhnya crane di masjidil haram. Hanya dalam waktu dua jam lokasi kejadian sudah bersih dan diamankan sehingga dapat digunakan.
Lantas bagaimana dengan penanganan bencana di Indonesia? Sudahkah se"lamban" Arab Saudi?
Sudahkah pemerintah menetapkan kabut asap yang menimpa Sumatera dan Kalimantan sebagai bencana nasional?
Tidak perlukah pemerintah menetapkan tanggap darurat?
Sudah berhasilkah menemukan formula jitu untuk mengatasinya selain upaya blusukan tanpa memperhatikan safety yang dihujani ribuan kilatan lampu blitz kamera?
Rasanya kita perlu mengukur diri terlebih dahulu sebelum berkomentar nyinyir. Bila perlu belajarlah manajemen penanganan korban kepada Arab Saudi mengingat sering diselengarakannya konser yang memiliki potensi resiko yang sama seperti di Mina.
Jangan malu belajar dari musibah yang dialami Arab Saudi agar kita bisa se"lamban" mereka.(muaz/tarbiyah/beritaislam.net)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar