Selasa, 15 September 2015

Hukum Kencing Berdiri



Hukum Kencing Berdiri

            Sesungguhnya Islam telah mengatur kehidupan manusia dalam segala aspek, dimulai dari yang paling kecil seperti masalah kebersihan hingga masalah besar seperti pemerintahan. Islam menganjurkan pemeluknya untuk senantiasa menjaga kebersihan badan dan jiwanya. Sebab bersihnya dhahir seseorang menunjukkan kebersihan batinnya. Karena itu lah Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda,

            “Kebersihan itu sebagian dari iman.” (HR. Muslim, no.556)

            Termasuk hal yang sangat diperhatingkan dalam Islam adalah masalah buang air kecil. Menjaga diri dan memperhatikan masalah kencing adalah tuntutan bagi setiap muslim, walaupun terlihat sepele namun berkaitan erat dengan nasib seseorang di akhirat kelak. Terdapat riwayat shahih dari Ibnu Abbas, ia menceritakan, “Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam melewati dua kuburan seraya bersabda, ‘Sesungguhnya keduanya sedang diazab, dan tidak diazab karena permaalahan yang besar menurut keduanya. Adapun yang pertama; ia tidak menjaga diri dari air kencing, sedangkan yang kedua; suka mengadu domba.’

            Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam pun mengambil pelepah kurma yang masih basah dan membelahnya menjadi dua bagian, kemudian menancapkannya pada masing-masing kuburan itu. Para Shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan hal itu?” Beliau menjawab, “Semoga itu bisa meringankan azab keduanya selama pelepah itu belum kering.” (HR. Bukhari, no.218 & Muslim, no.703)

            Hadits di atas menunjukkan bahwa siksa kubur itu benar adanya, dan salah satu sebab seseorang disiksa di alam barzakh kelak adalah tidak menjaga diri dari air kencing.

Seiring berjalannya waktu kita mendapati berbagai tempat seperti stasiun, terminal, dan tempat-tempat umum lainnya biasa menyediakan WC umum. Kemudian di WC umum tersebut banyak didapati tempat untuk kencing berdiri, beramai-ramai orang kencing disana. Bahkan terkadang kita mendapati sebagian orang melakukannya sambil berbincang-bincang dengan orang yang berada di sampingnya. Bagaimana kita menyikapinya?

Hukum Kencing Berdiri
Dalam suatu hadits disebutkan,

Dari Hudzaifah berkata, “Aku bersama Nabi Shallallahu alaihi wasallam berjalan-jalan, lalu beliau mendatangi tempat pembuangan sampah di belakang tembok. Kamudian beliau berdiri sebagaimana berdirinya salah seorang kalian dan kencing (berdiri).” (HR. Bukhari, no.225)

Hadits di atas mengisyaratkan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam jika hendak buang air menjauh dari pandangan manusia. Isyarat lainnya bahwasanya beliau buang air kecil dengan berdiri ketika tempat itu tidak memungkinkan duduk.

Diantara shahabat yang membolehkan kencing dengan berdiri adalah Umar, Ali, Ibnu Umar, dan Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhum.

            Disana juga terdapat pendapat ulama yang memakruhkan kencing dengan berdiri, sebagaimana disebutkan dalam kitab an-Natfu Fii al-Fatawa 2/809. (Kitab ini adalah karya Al-Qadhi Al Imam Abul Hasan Ali bin Husain as-Sughdi)

Hanya saja, datang riwayat shahih;

Dari Aisyah berkata, “Siapa yang memberi tahukan kepada kalian bahwa Nabi Shallallahu alaihi wasallam kencing dengan berdiri maka jangan percaya padanya. Beliau tidak pernah kencing kecuali dalam keadaan duduk.” (HR. Tirmidzi 1/21. Diriwayatkan pula oleh Ahmad, an-Nasa’I, dan Ibnu Majah, serta Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
Lajnah Daimah mengatakan,

“Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wasallammelakukan kencing berdiri karena tempat yang tidak memungkinkan untuk duduk, ataupun beliau melakukan hal itu untuk menjelaskan kepada manusia bahwa kencing berdiri itu boleh dan tidak haram. Hal ini tidak menafikan bahwa hukum asalnya adalah apa yang disebutkan oleh Aisyah Radhiyallahu anha yaitu kencing dengan duduk, hukumnya sunnah bukan wajib, serta tidak boleh menyelisihinya.” (Talkhish Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 1/4)

Bagaimana Jika Beramai-Ramai?

            Hadits tentang dua kubur di atas terdapat lafadz Laa Yastatiru, yang memiliki dua makna, pertama; tidak mejaga aurat dari pandangan manusia atau tidak bersembunyi ketika kencing, yang kedua; tidak menjaga diri dari air kencing. (Masyariqul Anwar, Qadhi Iyadh, I/383)

            Oleh sebab itu, seseorang jika hendak buang air kecil hendaknya ia menutup diri dan menjauh dari keramaian, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam. Ini juga merupakan adab dan muru’ah bagi seorang muslim yang harus dijaga. Meski hal ini merupakan suatu yang sepele, namun jika tidak diperhatikan dapat menurunkan muru’ah seorang muslim.

            Adapun berbincang-bincang ketika sedang buang air kecil, hukum minimalnya adalah makruh. Hendaknya kita hindari hal-hal yang demikian. (al-Fatawa al-Mu’ashirah, Ali bin Nayif Asy-Syuhud, hal.203)
Syaikh Utsaimin berkata;

“Terdapat hadits shahih dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau kencing dengan berdiri. Para ulama mengatakan, ‘Tidak mengapa kencing dengan berdiri dengan syarat aman dari cipratan kencing dan aman dari pandangan manusia.’ maksudnya tidak ada seorang-pun disekitarnya dan ia tidak takut terkotori kencing, maka tidak masalah kencing berdiri. Hal itu juga tidak dimakruhkan terlebih jika hal itu diperlukan, seperti jika seseorang memiliki penyakit yang membuat ia sulit untuk duduk, maka tidak ada masalah.” (Fatawa Nur Ala ad-Darb, bab Adab, hal.42)

Walaupun kencing dengan berdiri dibolehkan jika tidak dilihat seorangpun, namun sunnahnya adalah kencing dengan duduk, dan inilah yang paling shahih dalam masalah ini. Sebab, hal ini yang sering dikerjakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, juga lebih tertutup dan terjaga. Yang utama adalah jika seseorang mandatangi WC umum, hendaknya ia masuk kamar mandi dan kecing dengan duduk.

Dapat disimpulkan juga bahwa membangun WC umum dengan model kencing berdiri kemudian beramai-ramai orang berkumpul disitu, merupakan suatu yang menyelisihi sunnah.

Kami nasehatkan pula bagi orang tua hendaknya mengajari anak-anak mereka sejak kecil dan membiasakan meeka untuk kencing dengan duduk di kamar mandi. Sebab, ini merupakan pendidikan adab yang perlu ditanamkan sejak masa kanak-kanak.

Semoga tulisan singkat ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya dan menjadi amal shalih bagi penulisnya. Aamiin. Wallahu a’lam (HD Maghribi)

Fatwa

Pertanyaan;
Apakah baju yang basah karena kencing kemudian kering, apakah ia tetap dihukumi najis? Apakah wajib mencuci posisi najis tersebut? Apabila ada seseorang menyentuhnya, apakah dia wajib mencuci tangannya?

Syaikh Shalih al-Fauzan menjawab;

“Najis tidak akan hilang dari pakaian kecuali dengan dicuci menggunakan air, tidak cukup hanya dengan kering saja. Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda tentang darah haid yang mengenai baju perempuan, “Kamu menggosoknya, menguceknya dengan air, membilasnya, dan kamu gunakan untuk shalat.” (HR. Bukhari (I/79-80) & Muslim (I/240)

            Sehingga harus mencuci baju tersebut sebelum menggunakannya untuk shalat.

            Apabila seseorang menyentuh najis yang basah, maka dia harus mencuci bagian tubuh yang menyentuhnya, sebab najis telah berpindah ke tubuhnya. Namun, jika najis tersebut kering, ia tidak perlu mencucinya karena najis tidak berpindah.”

(Al-Muntaqa min Fatawa al-Fauzan, no.37) 

Ust. Muiz Abu Turob

Tidak ada komentar:

Posting Komentar